Sinopsis : Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam |
RESENSI NOVEL PARA PRIYAYI
Judul novel : Para priyayi(sebuah novel)
Pengarang : Umar kayam
Penerbit : PT Pustaka Utama Grafiti
Tahun terbit : 2000
Tebal buku : 316 halaman
Sinopsis novel Para Priyayi
Soedarsono anak keluarga buruh tani yang oleh sanak saudaranya
diharapkan menjadi "pemula" untuk membangun keluarga priyayi. Berkat
dorongan Asisten Wedana Ndoro Seten, ia dapat sekolah dan menjadi
seorang guru. Disinilah ia mulai menapaki dunia priyayi pangreh praja.
Soedarsono memiliki tiga orang anak, Noegroho (Opsir Peta), Hardojo
(Guru), dan Soemini (istri Asisten Wedana). karena hidup berkecukupan
Soedarsono merasa wajib membantu sanak saudaranya yang tidak mampu,
dibawalah tiga keponakannya (Sri, Soedarmin, dan Soenandar) untuk ikut
tinggal dan di sekolahkan di Wanagalih. Salah satu keponakannya
Soenandar memiliki perangai yang berbeda dari yang lain, jail, nakal,
dan selalu gagal dalam belajar.
Suatu ketika Seodarsono yang telah berganti nama menjadi Sastrodarsono,
mengutus Soenandar untuk mengurus sekolah yang didirikannya di
Wanalawas, diharapkan agar Soenandar lebih mandiri dan dapat bertanggung
jawab. tapi Soenandar justru menghamili anak penjual tempe dan kabur.
Lahirlah Wage yang kemudian diboyong ke wanagalih, dirawat dan
disekolahkan, kemudian diganti namanya menjadi Lantip. Wanagalih adalah
sebuah ibukota kabupaten. Kota itu lahir sejak pertengahan abad ke-19.
Di kota itu Lantip sering teringat akan Mbah guru Sastrodarsono yang
selalu memberikan nasihat pada seisi rumah setiap kali ia pulang dari
pertemuan pagi.
Lantip, nama aslinya adalah Wage karena lahir pada hari Sabtu Wage. Nama
Lantip itu adalah sebuah nama pemberian dari keluarga Sastrodarsono
saat Lantip tinggal di keluarga itu, yaitu di jalan Satenan di kota
Wanagalih. Sebelumnya Lantip tinggal bersama Emboknya Desa Wanalawas
yang hanya beberapa kilometer dari kota Wanagalih. Hubungan Embok Lantip
dengan keluarga Sastrodarsono itu dimulai dari penjualan tempe. Rupanya
tempe buatan Embok Lantip itu berkenan di hati keluarga Sastrodarsono.
Buktinya kemudian tempe Embok itu jadi langganan keluarga tersebut.
Lantip selalu ikut membantu menyiapkan dagangan tempe, dan ikut
menjajakan nya berjalan di samping atau di belakang Mboknya menyelusuri
jalan dan lorong kota. Lantip ingat bahwa dalam perjalan itu sengatan
terik matahari Wanagalih. Wanagalih memang terkenal sangat panas dan
rasa haus yang benar-benar mengeringkan tengorokan. Sekali waktu Lantip
pernah merengek kepada Emboknya untuk dibelikan jajanan. Dengan ketus
Emboknya menjawab dengan "Hesy! Ora usah", dan Lantip pun terdiam.
Lantip tahu Emboknya, meskipun murah hati
Soenandar yang jatuh cinta pada Ngadiyem ternyata adalah ayah Lantip,
tetapi ia tidak mau mengakui kahamilan Ngadiyem Emboknya Lantip, bahkan
ia minggat meninggalkan rumah Sastrodarsono yang akhirnya dapat
diketahui dari laporan mantri polisi, Soenandar bergabung dengan
gerombolan perampok yang dipimpin oleh Samin Genjik yang markasnya telah
dibakar termasuk Seonandar yang dititipkan keluarganya kepada
Sastrodarsono untuk menjadi priyayi juga hangus terbakar.
Sesudah Noegroho kembali ke Wanagalih untuk menghibur bapaknya yang
merasa sangat terpukul oleh tempelengan tuan Nippon, hal ini dikarena
bapaknya dituduh mendirikan sekolah liar, padahal Sastrodarsono
mendirikan sekolah hanya untuk menolong orang-orang desa yang tidak bisa
membaca dan menulis, "yang disebut sekolah di Wanalas itu usaha kami
sekeluarga. Kami pengagum Raden Adjeng Kartini, Ndoro. Kami Cuma meniru
beliau, Ndoro." Begitu ucapan bapaknya masih terngiang di telinga
Noegroho saat beralasan pada tuan Nippon.
Seperti biasa Noegroho kembali bekerja di Sekolah Rakyat Sempurna di
Jetis sekolah pada jaman Jepang gouverment’s HIS Jetis. Tetapi tanpa di
duga Noegroho mendapat panggilan terpilih untuk ikut tentara peta atau
Pembela tanah Air, dan segera berangkat ke Bogor untuk menjalani latihan
dan saringan yang nantinya dapat ditempatkan di daidan-daidan atau
batalyon-batalyon di Jawa.
Sepeninggalannya Mbah putri kesehatan Eyang kakung semakin memburuk yang
sampai akhirnya ia meninggal dunia. Dalam upacara sambutan selamat
tinggal untuk Mbah kakung Sastrodarsono semua anggota keluarga
Sastrodarsono tidak ada yang berani memberikan pidato kata-kata
terakhir, pada akhirnya Lantip yang dijadikan wakil dari keluarga besar
Sastrodarsono yang menyampaikan pidato selamat jalan kepada Embah kakung
di makam itu.
Penilaian novel para priyayi
Kelebihan : novel ini menceritakan tentang kehidupan masyarakat di masa
dahulu dan selain sebagai sebuah novel, novel ini juga merupakan ebuah
ensiklopedia yang menceritakan bagaimana kehidupan Indonesia di zaman
dahulu.
Kekurangan : Memiliki bahasa yang kurang dimengerti oleh para pembacanya
Amanat Novel Para Priyayi
yang dapat kita petik adalah bagaimana sebenarnya seorang yang dikatakan
"priyayi" yaitu seorang yang dapat mengayomi keluarga dan rakyat
miskin. memiliki pendirian yang kokoh dan berjuang keras tanpa pamrih.
selalu menjaga nama baik keluarga. "Mikul duwur, Mendem jero"
(menjunjung tinggi nama baik, mengubur dalam aib keluarga).